Eksistensi Pidana Minimum Khusus Dalam UU Tipikor

Analisis mengenai alasan pembentuk undang-undang merumuskan ketentuan ancaman pidana minimum dalam perkara tindak pidana korupsi
Stelsel pidana dapat diartikan sebagia bagian dari sanksi pidana, yang terdiri dari:

  1. Jenis pidana (strafsroot)
  2. Berat ringannya/ bobot pidana (strafmaat)
  3. Cara pelaksanaan pemidanaan (strafmodus)

Berdasarkan ketentuan Pasal 103 KUHP, ketentuan dalam Bab I-VIII Buku I KUHP berlaku pula terhadap UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Dalam hal UU Tipikor menentukan suatu ketentuan yang sifatnya berlainan dengan ketentuan Bab I-VIII Buku I KUHP, maka ketentuan UU Tipikor yang akan dipergunakan dalam aturan yang khusus. Dalam hal ini, stelsel pidana dalam UU Tipikor mengikuri KUHP.

UU Tipikor memberikan ancaman pidana berupa pidana mati, penjara, dan denda. Dari strafroot yang diatur dalam Pasal 10 KUHP, tidak ada pidana kurungan bagi pelaku tindak pidana korupsi. Dari keseluruhan tindak pidana yang diformulasikan dalam UU Tipikor, dapat kita lihat ada pola ancaman pidana dengan model perumusan yang berbeda. Ada pasal yang sanksinya diancam secara alternatif, kumulatif, dan gabungan/campuran.

Perumusan sanksi pidana dalam UU Tipikor menganut ancaman minimal khusus. Hal ini berarti ketentuan umum pidana penjara dan denda sebgaimana diatur dalam KUHP tidak berlaku. Di dalam UU Tipikor ada ancaman pidana minimal khusus di dalam perumusan deliknya. Ancaman pidana minimum dan maksimum khusus ini diterapkan pada pidana penjara dan pidana denda. Dimana masing- masing Pasal memiliki batas pidana minimum khusus dan maksimum khusus yang berbeda-beda.

Lahirnya ketentuan ancaman pidana minimum khusus dan maksimum khusus ini karena ancaman pidana penjara minimum umum yang diatur dalam KUHP adalah penjara paling singkat satu (1) hari dan maksimumnya adalah 15 tahun dan maksimum tersebut dapat menjadi 20 tahun dengan kondisi tertentu. Sehingga dengan adanya ancaman pidana minimum khusus ini Hakim tindak pidana korupsi tidak dapat menjatuhkan putusan pidana di bawah dari batas pidana yang telah ditentukan dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No.20 Tahun 2001.

Hal ini ditegaskan oleh pernyataan dari Hakim Tindak Pidana Korupsi Pengadilan Negeri Kelas IA Padang Fahmiron, yang menyatakan bahwa adanya batas minimum khusus ini bertujuan untuk memberikan perbedaan antara tindak pidana umum dengan tindak pidana khusus. Selain itu juga bertujuan untuk memberikan batasan kepada Hakim dalam menjatuhkan putusan pidana. Karena jika tidak ada batas minimum khusus, Hakim dalam penjatuhan pidana penjara akan berpatokan kepada KUHP yaitu paling singkat 1 (satu) hari penjara. Dengan kata lain, Hakim tidak diperkenankan untuk memberikan putusan pidana di bawah dari batas minimum khusus. Jika hal ini terjadi maka Hakim tersebut dianggap sudah melanggar kode etik.

Pembatasan minimum tersebut tidak menyimpang dengan prinsip kebebasan hakim dalam menjatuhkan pidana
Pembuatan undang-undang yang dilakukan pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menetapkan beberapa peraturan perundang-undangan yang memuat sistem straf minimum rules (aturan hukum minimal). Sistem pidana minimum memberi batasan terhadap kebebasan yang dimiliki hakim dalam menjatuhkan putusan.

Apabila dikaitkan antara asas kebebasan hakim dengan penjatuhan pidana, seorang hakim memiliki asas kekuasaan yang bebas dalam menjatuhkan pidana terhadap seorang terdakwa. Akan tetapi, putusan berupa pemidanaan di bawah umur minimum dari ancaman pidana yang telah diatur dan ditetapkan dalam undang-undang akan menimbulkan kontroversi atau pun perdebatan.

Hasil penelitian Hakim Pengadilan Negeri Magelang Supandiyo, menyimpulkan bahwa intrepetasi hakim tentang penerapan asas kebebasan hakim di dalam melakukan penjatuhan pidana terhadap tindak pidana yang memuat ancaman minimum khusus sangat dipengaruhi oleh paradigma hakim dalam memahami hukum dari dimensi ontologi, aksiologis maupun epistimologi.

Intrepetasi hakim terbagi dalam dua arus pandangan besar. Pertama, sebagian besar hakim menafsirkan bahwa asas kebebasan hakim dalam melakukan penjatuhan pidana terhadap tindak pidana dengan ancaman minimum khusus tetap harus berpedoman pada ketentuan pidana minimum khusus dan dan tidak boleh menyimpang dari pedoman tersebut. Kedua, sebagian hakim menafsirkan bahwa asas kebebasan hakim dalam penjatuhan pidana pada tindak pidana dengan ancaman minimum khusus tidak boleh dibaca dan ditafsirkan secara kaku.

Putusan hakim yang pidananya di bawah ancaman pidana minimum
Komisi Pemberantasan Korupsi menyayangkan putusan Mahkamah Agung terhadap mantan Bupati Talaud Sri Wahyumi Manalip. KPK menyatakan putusan terhadap Sri lebih rendah dari ancaman minimal yang diatur Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

MA mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK) mantan Bupati Kepulauan Talaud, Sri Wahyumi Maria Manalip. Dalam putusannya, MA memotong masa tahanan Sri Wahyumi dari 4,5 tahun menjadi hanya 2 tahun penjara. Vonis yang dijatuhkan di bawah ancaman pidana minimum sebagaimana diatur dalam UU Tipikor, yaitu minimum pidana penjara selama 4 tahun.


Sumber:

  1. Pujiyono. (2019). Tindak Pidana Korupsi. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka.
  2. Dhita, Dwi Handayani. (2015). Penerapan Pidana Minimum Khusus Terhadap Terdakwa Tindak Pidana Korupsi. Diakses pada 14 November 2021 dari http://scholar.unand.ac.id/
  3. Satria. (2018). Mengkaji Asas Kebebasan Hakim Dalam Penjatuhan Pidana dengan Ancaman Minimum Khusus. Diakses pada 14 November 2021 dari https://ugm.ac.id/id/berita
  4. CNN Indonesia. (2020). KPK Kecewa MA Sunat Vonis Eks Bupati Talaud Jadi 2 Tahun. Diakses pada 14 November 2021 dari https://www.cnnindonesia.com 

Komentar