Lembaga Pemberantasan Korupsi Dari Masa Ke Masa

Pada Era Orde Lama Presiden Soekarno membentuk "pasukan khusus" yang dikomandani oleh Zulkifli Lubis, Wakil KSAD dengan mengeluarkan Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957.

Selanjutnya adapun bentuk hukum yang digunakan dalam pemberantasan korupsi adalah UU No. 6 Tahun 1946 Tentang Keadaan Bahaya dengan produknya yang diberi nama PARAN (Panita Retooling Aparatur Negara). Badan ini dipimpin oleh A. H. Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota yakni Mohammad Yamin dan Roeslan Abdul Gani.
Penegakan anti korupsi yang diemban PARAN adalah agar para pejabat negara mengisi formulir yang saat ini disebut dengan daftar kekayaan. Karena kebanyakan pejabat berlindung dibalik presiden dan pergolakan di daerah-daerah sedang memanas sehingga tugas PARAN akhirnya diserahkan kembali kepada pemerintah Kabinet Juanda.

Pada tahun 1963, Soekarno menerbitkan Kepres Nomor 275 Tahun 1963 sebagai landasan pembentukan Lembaga Operasi Budhi yang bertugas menjerat perusahaan dan lembaga negara yang melakukan aksi korupsi. Operasi Budhi dibubarkan dan diganti dengan lembaga baru yakni Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar). Kontrar tidak memiliki catatat signifikan dalam pemberantasan korupsi dan dibubarkan ketika Soekarno tidak lagi menjadi presiden.

Lahirnya Era Orde Baru dengan ditandai jatuhnya pemerintahan Soekarno yang digantikan oleh Soeharto, kemudian pada tahun 1967 terbit Kepres Nomor 228 Tahun 1967 untuk membentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai oleh Jaksa Agung yang juga terdiri dari Menteri Kehakiman dan Panglima ABRI.

Namun, pada akhirnya TPK gagal dalam memberantas korupsi. TPK dinilai tidak memiliki keberanian untuk membongkar korupsi yang sudah mewabah. Hal ini kemudian menjadi salah satu alasan terjadinya demonstrasi besar-besaran di tahun 1970 oleh mahasiswa.

Maraknya gelombang protes oleh mahasiswa yang disebabkan ketidakseriusan TPK dalam memberantas korupsi ditanggapi Soeharto dengan membentuk Komite Empat yang tugas utama mereka adalah membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lainnya.
Salah satu pencapaian besar dari Komite Empat adalah kasus Presiden Direktur Pertamina Ibnu Sutowo. Namun kasus tersebut tidak mendapatkan respon dari pemerintah. Dimana sampai akhirnya Ibnu Sutowo tidak pernah dinyatakan telah korupsi dan kasusnya hanya ditutup sebagai kesalahan manajemen.

Dengan didasari oleh UU Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Korupsi, dan sebagai bentuk pelaksanaan UU tersebut juga kegagalan Komite Empat dalam memberantas korupsi, ketika Laksamana Sudomo diangkat menjadi Pangkopkamtib berdasarkan Inpres Nomor 9 Tahun 1977 dibentuklah Opstib (Operasi Tertib) dengan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Opstib ini menjadi tidak berfungsi karena terjadi perselisihan internal.

Di penghujung Era Orde Baru, Pemerintah dan DPR menghasilkan UU No. 11 Tahun 1980 Tentang Tindak Pidana Suap. Juga muncul peraturan tentang disiplin Pegawai Negeri yang tertuang dalam PP No. 30 Tahun 1980 Tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

Pada awal Era Reformasi, UU No. 3 Tahun 1971 disempurnakan oleh UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Korupsi, namun usaha pemberantasan korupsi dilakukan oleh B. J. Habiebie dengan mengesahkan bersama DPR UU No. 28 Tahun 1998 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari KKN berikut pembentukan badan baru seperti KPKN, KPPU, dan Lembaga Ombudsman.

Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wachid Kepres No. 127 Tahun 1999 untuk membentuk Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara dengan dikuatkan oleh terbitnya Surat Keputusan Presiden Tanggal 13 Oktober 1999 Tentang Pemeriksaan Kekayaan Penyeenggara Negara.
Yang dilanjutkan dengan dibentuknya Komisi Ombudsman Nasional kemudian menyusul Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tim ini beranggotakan Jaksa, Polisi, dan wakil dari masyarakat yang berada di bawah Jaksa Agung, Namun pada pelaksanaannya, TGPTPK tidak mendapat dukungan. Beberapa kasus yang coba diusut oleh TGPTPK ditolak oleh Jaksa Agung, seperti misalnya kasus BLBI.

Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terpaksan dibubarkan oleh pemerintahan Megawati Soekarno Putri karena adanya putusan uji materiil Mahkamah Agung. Yang kemudian dibentuknya Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggaraan Negara (KPKPN) berdasarkan UU No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. KPKPN pada awalnya bertanggung jawab untuk menerima dan memeriksa laporan kekayaan para penyelenggara negara.
Sampai kemudian, berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi akhirnya KPKPN dilebur menjadi bagian dari KPK yang sampai hari ini masih eksis.

Beberapa pengungkapan kasus korupsi yang terjadi sejak Era Reformasi:
  1. Hari Sabarno adalah Menteri Dalam Negeri pada Kabinet Gotong Royong (Megawati Soekarnoputri - amzah Haz) yang terjerat kasus korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran yang menyebabkan kerugian negara sekitar Rp97,2 miliar.
    Majelis Hakim Pengadilan Tipikor menjatuhkan hukuman pidana dua tahun dan enam bulan penjara kepada Hari Sabarno yang dinyatakan terbukti bersalah melakukan pidana korupsi dengan penunjukan langsung PT Satal Nusantara dan PT Istana Saranaraya sebagai perusahaan yang ditunjuk dalam pengadaan 208 mobil damkar di 22 wilayah seluruh Indonesia pada 2003 hingga 2005.
    Hukuman terhadap Hari Sabarno ditambah menjadi lima tahun setelah Mahkamah Agung (MA) mengabulkan kasasi jaksa penuntut umum (JPU) dengan nomor 1482/PIDIS 2012 yang membatalkan vonis PN Tipikor yang menghukum Hari Sabarno 2,5 tahun penjara.

  2. Korupsi pengadaan mesin jahit dan sapi impor dengan kerugian negara Rp33,7 miliar. yang melibatkan Menteri Sosial pada Kabinet Gotong Royong dan Kabinet Indonesia Bersatu I (Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla).
    Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memvonis mantan Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah dengan hukuman satu tahun delapan bulan penjara dengan denda Rp50 juta.

  3. Idrus Marham adalah Menteri Sosial pada Kabinet Indonesia Kerja (Joko Widodo-JK) yang terjerat kasus suap PLTU Riau 1 saat aktif menjabat sehingga kemudian memutuskan mengundurkan diri.
    Pada tingkat pertama, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan hukuman tiga tahun penjara, serta diwajibkan membayar denda Rp150 juta subsider dua bulan kurungan.
    Namun, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat Idrus menjadi lima tahun penjara di tingkat banding, serta diwajibkan membayar denda Rp200 juta subsider dua bulan kurungan. Akhirnya, MA mengabulkan kasasi yang diajukan terdakwa Idrus dan membuat hukuman berkurang tiga tahun menjadi dua tahun penjara.
Sumber:

  1. Pujiyono. (2019). Buku Materi Pokok HKUM4310 Tindak Pidana Korupsi. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka.
  1. Arsyad Sanusi, H. M. (2009). Relasi Antara Korupsi dan Kekuasaan. Diakses pada 27 Oktober 2021 dari https://perpustakaan.kpk.go.id
  1. Ginting, Eriko Fahri. (2021). Sejarah Perkembangan Lembaga Pemberantasan Korupsi. Diakses pada 27 Oktober 2021 dari https://heylawedu.id
  1. Mahesa, Zair. (2020). Korupsi Di Era Reformasi diakses pada 27 Oktober 2021. Diakses pada 27 Oktober 2021 dari https://deskjabar.pikiran-rakyat.com

Komentar